Shifatul muslim al-‘asyr… Salimul ‘aqidah –aqidah yang tunduk, shahihul ‘ibadah –ibadah yang benar, matinul khuluq –akhlak yang teguh, mutsaqqaful fikri –wawasan yang luas, qawiyyul jismi –jasmani yang kuat, qadirun ‘alal kasbi –yang mampu dalam perbendaharaan, mujahidun lihawahu –pejuang atas hawa nafsunya, harishun ‘ala waqtihi –yang tepat terhadap waktunya, munadzhdzhamun fi syu’unihi –manajer setiap urusan-urusan, nafi’un lighairihi –pemberi kebermanfaat kepada yang lainnya.
Dulu saat awal masuk pondok pesantren, ketika itu jenjang MTs atau setara SMP, ada kebiasaan krusial yang digulirkan di kalangan kami para santri sebelum memulai pembelajaran untuk melantunkan semacam ‘doktrin’. Dan doktrin itu berbahasa arab. Setiap harinya, di awal waktu, ada salah seorang diantara kami yang maju ke depan kelas kemudian membacakan sepenggal ayat-ayat al-qur’an, dilanjutkan mabadiul muslim al-khamsah –5 prinsip muslim, dan yang terakhir shifatul muslim al-‘asyr –10 sifat muslim. 3 doktrin itu, yang kemudian baru saya ketahui ketika hampir akhir-akhir meninggalkan ponpes tsb, ternyata mempunyai filosofi yang matang dan hebat. Acceptable, tak lekang oleh ruang dan waktu. Tapi juga sempurna, menyeluruh pada aspek kehidupan.
Hingga kemudian saya tersadar lau akhirnya memutuskan untuk menuliskan inspirasi ini, hari ini. Dalam ‘doktrin’ shifatul muslim al-‘asyr, seorang muslim bukan hanya dituntut untuk menjadi seorang ahli ibadah saja, atau yang berwawasan luas saja, atau dengan menafikan satu point terhadap point yang lainnya. Tapi itulah kriteria muslim. Bisa jadi kita menjadi salah satu spesialis diantara semua kriteria, tapi kita harus pasti mempunyai semua itu secara seimbang. Itu muslim menurut imam hasan al-banna, yang didoktrinkan kepada kami hampir setiap pagi dulu ketika di pondok pesantren.
Hari ini, sabtu (14/09/13), saya mengikuti seminar nasional tentang peran strategis pemuda yang diselenggarakan oleh JN UKMI UNS karena kebetulan saya menjadi MC pada acara tsb. Dengan pembicara hafidz ary (founder anti-JIL) dan shofwan al banna choiruzzad (mawapres nasional 2006). Ada satu quote yang cukup menginspirasi saya ketika salah seorang pembicaranya, shofwan al-banna choiruzzad, menyampaikan uraian materi yang dibawanya. Masa depan, kata beliau melanjutkan, adalah milik mereka orang-orang generalis/globalis. Statement itu sempat membuat saya bingung sekaligus galau. Lalu dimana mereka para spesialis ilmu?
Tepat sekali Rasulullah menyebut bahwa silaturrahim itu melancarkan rezeki. Rezeki ilmu misalnya. Buktinya, saat abi-ummi mengajak saya bersilaturrahim kepada teman-teman SD/SMP/SMA mereka, selalu saja ada cerita menarik yang mereka ingat. Dan selalu ada ilmu disana. Dulu, kata abi, si A orangnya rajin, pinter di kelas, dan jadi sumber refrensi, tapi sekarang, hidupnya biasa-biasa aja, tidak lebih baik dari si B, C, atau D yang dulu begini dan begitu. Maka, cerdas-cerdaslah menyiasati keadaan. Ilmu tidak cuma dari kelas yang formal. Sukses juga tidak cuma datang dari kecerdasan linier. Jangan berpikir hari ini saja sedangkan esok terlupakan. Toh terbukti menurut david goleman seorang psikolog bahwa IQ tak lantas membuat hidup kita sukses, tapi EQ lah yang dominan. Termasuk EQ untuk berpikir global dan visioner.
Statement mas shofwan al-banna tidak lantas berhenti sampai itu ternyata. Hingga akhirnya, setelah pembicaraan materi mulai klimaks, saya menemukan satu simpul yang terikat dengan shifatul muslim al-‘asyr sebelumnya. Karena mereka –para generalis/globalis, bisa menempatkan spesialisasi yang mereka punya dalam ruang dunia yang akan semakin komplek kedepannya. Persis titah sang imam hasan al banna, adalah seorang muslim seyogyanya memenuhi semua kriterianya. Sederhana, tapi dalam. Benar-benar mengintropeksi sekaligus menginspirasi.
Ada benarnya kalau perkataan serasa kurang mantap tanpa pembuktian. Ya, simpul inspirasi tadi mengkristal dalam pemahaman pribadi. Cerita-cerita silaturrahim abi-ummi semakin memperkuat. Hidup-hiduplah yang seimbang, sebab akal pikiran dan jiwa raga punya hak masing-masing. Berpikir global agar tak melulu terkunkung dalam tempurung. Sedangkan kita juga harus punya spesialisisasi satu dari banyaknya aspek kehidupan. Menjadi spesialis yang berwawasan global. Karena dunia tak selebar daun kelor, dan tak sesederhana bentuknya.
Maka, masa depan adalah milik orang-orang spesialis yang berwawasan general/global sebab mereka dapat memetakan partisipasi dan kontribusinya didunia yang semakin kompleks ini. Jika tidak, kemungkinan besar akan terombang-ambing dalam kerasnya dunia ini.